Apa yang salah dengan guru?

Bila Cara Guru Membosankan

Ini adalah kenangan lama, terjadi sekitar tahun 2002-2003 di Sumenep Madura. Waktu itu kami beserta teman-teman PBS (Pemandu Bidang Studi) IPA sedang mengikuti pelatihan IPA SEQIP (Science Education Quality Improvement Project). Tahapan pelatihan SEQIP sangat terasa, urut, dan tidak melompat-lompat. Jumlah peserta per kelas pelatihan hanya 16 orang dan itupun dilatih oleh 2 orang. Total lama pelatihan adalah 36 hari dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu Pelatihan PBS 1, Pelatihan PBS 2, Pelatihan Guru IPA 1, Pelatihan Guru IPA 2, dan Pelatihan PBS 3. Reportase yang akan saya laporkan adalah peristiwa yang terjadi pada pelatihan PBS 1.
Para PBS tidak langsung diberi materi pelatihan. Mereka diminta untuk mengamati lebih dahulu. Pengamatan pertama adalah mereka mengamati saya sebagai pelatih membawakan model pembelajaran ala SEQIP. Dalam tahapan ini pelatih adalah model. Peserta kemudian mencoba merumuskan struktur pembelajaran yang saya bawakan dengan pemandu pelatih yang tidak memodelkan. Setelah ketemu struktur mereka berdiskusi mengenai konsep yang ada pada model pembelajaran yang baru diamati. Semua peserta harus bicara, dan formasi kelas membentuk huruf U sehingga tidak ada peserta yang duduk dibelakang orang lain.
Pengamatan kedua, mereka kami bawa ke salah satu SD terdekat untuk mengamati guru IPA SD tersebut (bukan peserta) mengajar IPA. Waktu itu guru IPA yang diamati sedang mengajar topik Rantai Makanan untuk kelas 5. Ketika pelajaran baru berlangsung 15 menit, ada salah satu peserta yang keluar ruangan. Kami yang berada di luar ruangan langsung menghampiri dia. Kami bertanya mengapa bapak keluar meninggalkan ruangan, padahal makna pengamatan adalah melihat secara langsung seorang guru mengajar dari awal sampai akhir dan tidak boleh berkomentar kecuali diminta oleh yang diamati. Jawaban pak guru tadi adalah:”Bosan pak, cara mengajarnya membosankan” Saya langsung menimpali:”bapak merasa bosan dan punya keberanian untuk keluar ruangan, saya yakin para siswa juga bosan pak namun mereka tidak ada keberanian untuk keluar ruangan seperti bapak”
Akhirnya tiba saat diskusi di ruang pelatihan, semua aspek kami kaji dari cara mengajar, cara berkomunikasi guru-murid, cara menulis di papan tulis, manajemen waktu, ketercapaian tujuan pembelajaran dan lain-lain. Akhirnya para peserta sadar bahwa cara mengajar mereka juga tidak jauh berbeda dengan bapak guru kelas 5 yang diamati tadi. Mereka sepakat bahwa cara mengajar harus diubah. Munculnya niat untuk mengganti cara mengajar kami upayakan berasal dari peserta sendiri sehingga pelatih benar-benar sabar untuk hal ini. Begitu kesadaran sudah muncul materi apapun yang kami berikan disambut dengan suka cita dan ikhlas, sehingga waktu pelatihan yang sangat panjang dan melelahkan berakhir dengan mengharukan. Meskipun pesertanya laki-laki semua namun tak satupun yang tidak meneteskan air mata ketika kami harus berpisah. Semoga semua bapak-bapak itu sekarang sudah menjadi pimpinan yang kebijakannya mendorong para guru untuk mengajari anak-anak dengan baik.
Untuk apa semua ini kita lakukan? untuk pak Presiden? untuk pak Mendikbud? untuk pak Kakanwil Dikbud? pak Kadinas Dikbud? untuk pak Ka UPTD Dikbud? untuk pak Pengawas? Bukan…semua ini untuk anak-anak kita. Mereka berlatih selama 36 hari meninggalkan 16×40 siswa…dan para PBS IPA itu sudah mengupayakan agar pengorbanan para siswa tidak sia-sia, Bapak-bapak itu kembali ke sekolah dengan kualitas yang lebih baik. Saya sangat merindukan kebersamaan dengan mereka, semangat untuk maju yang begitu besar…mereka cuma butuh dukungan dari pemegang otoritas pendidikan di wilayahnya…mereka sudah berbuat sesuatu yang berati bagi bangsa ini, kita kapan?

Previous
Next Post »
Thanks for your comment